Hei, Pulang! Kamu bagai cinta
lama saya yang hilang. Saya mencari-cari maknamu wahai Pulang! Melewati
kebingungan, menapaki keraguan dan ternyata butuh seperempat abad bagi saya untuk
tahu apa itu Pulang.
Pulang disaat saya duduk di
bangku sekolah dasar berarti bebas dari seragam lalu bebas bermain dengan
teman-teman. Ketika itu saya sangat amat menghargaimu, wahai Pulang karena kamu
adalah hadiah dari Ibu Guru. "Boleh pulang duluan" begitu kata Ibu
Guru jika murid-muridnya bisa menjawab pertanyaan.
Menginjak remaja, Pulang menjadi
titah utama dari yang saya muliakan, kedua orang tua tersayang. Apalagi yang
lebih dikhawatirkan oleh mereka selain anak gadisnya yang baru menginjak remaja
terlambat pulang. Maaf Pulang, di masa-masa itu kamu jadi kewajiban yang
membosankan.
Lalu Pulang membuat perubahan.
Pulang keluar dari orbit seorang gadis remaja yang rumahnya mendadak pindah ke
propinsi tetangga. Saya pun menarik Pulang untuk kembali ke tempat yang baru. Memaksa
Pulang agar menetap dengan saya yang menumpang di rumah kerabat terdekat di
Ibukota. Saya kasihan dengan Pulang yang kebingungan dengan rutinitas multitujuan.
Saya tahu bahwa Pulang kelelahan dengan perjalanan antarkota antarpropinsi
setiap akhir minggu. Dua tahun pertama berlalu, Pulang belajar dan menjadi
dewasa. Saya pun bersyukur, Pulang kini lebih kaya arti.
Euphoria menjadi mahasiswa ternyata
menjauhkan saya dari Pulang. Ini bukan karena stigma bahwa mahasiswa KuPu-KuPu
(Kuliah Pulang Kuliah Pulang) adalah mahasiswa yang cupu* (kurang pergaulan)
sehingga saya tidak mau tergabung ke dalamnya. Kepanitiaan-ini, organisasi-itu
berhasil membuat saya lupa waktu dan juga lupa dengan Pulang. Saya larut dalam
kesibukan baru dan keluarga pun mendukung, Kamu harus cepat pulang jangan
terlambat sampai di rumah" seperti yang dinyanyikan Slank, hampir tidak
pernah dinyanyikan oleh keluarga saya pada masa-masa ini.
Tahun ketiga menjadi seorang
mahasiswa saya mencoba untuk masuk ke dalam kelompok mahasiswa yang go international. Walaupun misi saya sama
seperti Agnes Monica tapi skill jelas
beda. Saya sadar sepenuhnya jika saya mengandalkan faktor keberuntungan diantara
sederet faktor lainnya. Beruntung, keberuntungan itu menghampiri saya dalam
bentuk kesempatan untuk mengikuti Asian Energy Summit di National University of
Singapore.
Sebagai pemodal tunggal dalam
usaha nekad ini, tentu pada awalnya saya sempat mengalami kebimbangan. "Bisa
pergi tapi nanti bisa pulang gak ya?" versus "Belum pergi aja kok
udah mikirin pulang sih" sering berdebat di dalam pikiran saya. Saya
bersyukur perjalanan saya ke Singapore bisa dikatakan mulus dan justru menjadi
stimulus. Berikutnya saya semakin sering menantang diri saya untuk memulai travel ke banyak tempat dan tentu kemenangan
selalu ada di pihak "Belum pergi aja kok udah mikirin pulang sih".
Ya, hubungan saya dengan Pulang semakin menjauh. Ketika itu, saya mulai hobi travel ling. Saya jarang rindu Pulang.
Kalian pasti tahu kan tentang fase
pasang surut yang dialami oleh air laut, begitu juga yang terjadi dalam hubungan
saya dengan Pulang. Saya masih menganggap Pulang hanyalah sebagai sebuah
formalitas bahkan sampai saya mendapat gelar akademik pertama saya. Kebiasaan
jarang "mikirin Pulang" kemudian menjadi sponsor pendukung dalam
salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya. Tahun 2012, saya mengambil
pilihan untuk hidup mandiri di pulau seberang. Atas nama penempatan oleh
perusahaan, jiwa petualang ini tersalurkan. Namun ternyata ada hal yang kurang
saya persiapkan. Saya tahu saya akan berpisah dengan Pulang dalam waktu yang
panjang tapi saya belum pernah tahu bagaimana rasanya. Perjalanan-perjalanan
saya selama ini hanya membuat Pulang menunggu dalam hitungan minggu maka Pulang
sangat saya rindukan di beberapa bulan pertama saya memulai hidup di kota Palu,
Sulawesi Tengah. Kala itu, Pulang kembali menjadi pujaan, Pulang terkena
gelombang pasang. Saya sangat menginginkan Pulang.
Seperti seorang pecinta yang ingin
dianggap istimewa oleh yang dicintainya, saya pun ingin membawa hal yang
spesial ketika nanti bertemu Pulang. Saya ingin menyiapkan setumpuk cerita
tentang keindahan Sulawesi Tengah serta segudang pengalaman berkesan tentang
pekerjaan tak lupa juga perkembangan diri secara materi dan non-materi.
Tentunya semua harus sempurna. Dalam rangka mengejar kesempurnaan, saya sampai merelakan
momen hari raya untuk belum bertemu Pulang. Pengorbanan ini pun diganjar dengan
sebuah gelar baru yang diberikan oleh beberapa teman. Saya resmi menyandang
gelar Mbak Toyib walau baru satu kali bulan puasa dan satu kali Lebaran.
Waktu berlalu, saya pun sampai
pada fase kebingungan dan justru menjauhi Pulang. Makassar, ya, itulah yang
telah merebut hati saya. Ini bukan karena hampir setiap bulan saya bertandang
ke Makassar untuk urusan pekerjaan, bukan pula karena domisili seseorang yang
berstatus pacar tetapi ada sesuatu yang membuat saya terlena dengan Makassar.
Sesuatu yang lebih abstrak dari pantai Losari, Benteng Fort Rotterdam, Warung
Kopi, Coto, ataupun Konro Bakar. Ah entah apa itu, yang jelas saat itu arti
Pulang jadi berlipat ganda.
Sejenak saya
melupakan dulu Pulang karena berbagai pertemuan dan perjalanan saya yang begitu
mengasyikkan. Pertemuan saya dengan teman-teman bawah laut yang begitu cantik di
Pantai Tanjung Karang yang berhasil menarik saya untuk ikut aksi transplantasi
karang serta mengadopsi karang. Pertemuan saya dengan penduduk Kampung Bajo di
Kepulauan Togean yang mengajarkan arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Pertemuan saya dengan masyarakat berbeda agama yang hidup rukun di daerah bekas
konflik di Poso. Beberapa perjalanan saya di Sulawesi Tengah memang sangat
mengasyikkan tetapi banyak juga yang menegangkan dan mengingatkan saya tentang
Pulang. Seperti perjalanan tengah malam saya di daerah Parigi dimana saya yang
ketika itu tidur di bangku tengah terbangun kaget dengan badan yang penuh
serpihan kecil kaca karena kaca depan mobil yang saya tumpangi dilempar batu
hingga retak. Kemudian, perjalanan saya yang harus tertunda karena ban mobil rental
yang kempes di tengah hutan menuju kota Ampana pada pukul 03.00 pagi. Mungkin
berhenti sebentar karena ada razia oleh Polisi terdengar biasa saja tapi kalau
kejadiannya di kota Poso pada jam 23.00 maka akan beda sensasinya. Sekedar
lewat kota Poso untuk menuju kota lain pun pernah dihiasi oleh berita bom berdaya
ledak kecil yang meledak di suatu kampung. Semuanya membuatku berpikir tentang
Pulang.
Di tengah kebingungan
akan Pulang, saya bertemu dengan sekelompok orang yang sangat mendambakan
Pulang. Kami dipersatukan oleh kebijakan penempatan perusahaan. Kami sama-sama
bertahan, belajar dan menikmati masa perantauan. Dari mereka, saya belajar arti
Pulang yakni kembali ke pulau kelahiran dimana kultur mereka mudah berbaur. Mayoritas
dari mereka berpikir bahwa untuk bertemu sanak keluarga, perjalanan 15 jam di
atas kereta itu lebih baik daripada 2 jam penerbangan dari pulau seberang. Bagi
mereka lebih berat membawa satu kultur mereka ke pulau seberang daripada menerima
dan berbaur dengan ratusan macam kultur di pulau kelahiran.
Kemudian magnet
itu datang. Magnet yang mencoba menarik saya pulang, yang berbentuk: Berita
tentang kesuksesan teman-teman yang berjuang di kota besar, Iming-iming banjir
peluang di ibukota, Fakta tentang ketertinggalan saya akan hal-hal terkini dan
yang paling kuat daya tariknya yaitu kekhawatiran orang tua. Dalam waktu yang
singkat saya memutuskan untuk segera mengejar Pulang.
Akhirnya, saya
bertemu Pulang.. Sambutan hangat berdatangan dari keluarga dan teman-teman
ketika nama saya disandingkan dengan Pulang. Saya butuh Pulang agar saya tenang
adalah jawaban atas pertanyaan Kenapa ingin Pulang? yang saya ulangi
berkali-kali. Berkali-kali kepada mereka yang peduli. Berkali-kali sambil saya
renungi. Berkali-kali hingga saya tersadar bahwa Pulang punya arti tersendiri.
Dua bulan
pertama masih terasa wajar jika saya rindu perantauan serta rindu Makassar. Dua
bulan berikutnya saya menangis tersedu-sedu, juga masih karena rindu. Ini kali
pertama saya mengalami hal yang lebih dahsyat dari rindu. Raga saya nyaman
berada dalam dekapan hangat rumah tapi pikiran saya melayang-layang ke pulau
seberang. Lalu, saya bertanya berkali-kali kepada diri sendiri: "Bukankah
ini Pulang yang saya nanti-nantikan?" Jika ini sudah Pulang, lalu kenapa
saya belum tenang?
Saya memang
belum tenang karena seperti ada yang hilang dan rasanya seperti belum Pulang. Pulang
ternyata telah mencapai makna yang dalam dan setelah sekian lama barulah saya paham.
Makna Pulang bukan hanya tentang perpindahan tempat, bukan cuma kembali ke
tempat kelahiran, lebih dari sekedar bertemu dengan orang-orang yang kita
sayang. Pulang adalah tentang kembali ke tempat dimana hati kita terasa nyaman,
jiwa dan pikiran kita tenang. Saya telah meninggalkan hati saya di beberapa
tempat dan kesana lah saya ingin pulang, ke tempat-tempat yang menghidupkan
kenangan, yang membuat hati ini nyaman, jiwa dan pikiran pun tenang.
Tulisan ini diikutsertakan dalam #Nubie Traveller Monthly Blog Competition edisi Februari 2014