Dalam hitungan hari, masyarakat Indonesia akan berpesta demokrasi. Pesta demokrasi yang diharapkan bukan hanya sekedar repetisi lima tahunan tapi membawa perubahan signifikan. Rangkaian perhelatan politik ini diawali dengan Pemilihan Legislatif pada tanggal 9 April 2014.
Langkah perubahan bagi bangsa
Indonesia ditentukan oleh suara rakyat dalam memilih para wakilnya di parlemen.
Meminjam istillah Vox Populi Vox Dei (suara
rakyat adalah suara Tuhan) maka idealnya para caleg terpilih akan membawa Indonesia
selangkah ke depan, Akan tetapi, jika hak suara rakyat diberikan bukan
berdasarkan pilihan rasional maka bisa jadi Indonesia tetap terjebak dalam
ketertinggalan. Untuk itu, sepatutnya setiap dari kita memiilih wakil rakyat
yang mumpuni untuk mewakili.
Jumlah
kursi yang tersedia di DPR RI yakni sebanyak 563 kursi. Jumlah tersebut untuk mewakili jumlah
rakyat Indonesia saat ini yang sudah mencapai 237.641.326 jiwa dengan komposisi
jumlah laki-laki 119.630.913 jiwa dan perempuan jumlah 118.010.413 jiwa.
Sementara jumlah Calon Legislatif (caleg) yang berjuang untuk pemilihan
legislatif (pileg) periode 2014-2019 ini sejumlah 4142 caleg laki-laki dan 2434
caleg perempuan.
Tingginya
jumlah perempuan di Indonesia belum berbanding lurus dengan jumlah caleg
perempuan yang mewakilinya di parlemen. Ini ditunjukkan dengan data jumlah
anggota legislatif (aleg) perempuan di DPR RI periode 1999-2004 yakni sebanyak
9,2% ; Periode 2004-2009 yakni sebanyak 11,8 % ; Periode 2009-2014 yakni sebanyak
19,2%. Padahal seharusnya jumlah aleg perempuan yang duduk di parlemen mencapai
angka 30% sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang. Terdapat beberapa kebijakan
yang mengatur tentang keterwakilan serta partisipasi perempuan dalam parlemen,
yaitu: UU No.32 tahun 2007, UU No. 10 tahun 2008, UU No.2 tahun 2011, UU No.15
tahun 2011 dan yang terbaru yaitu PKPU No.7 tahun 2013.
Fakta
menunjukkan bahwa kuantitas aleg perempuan yang duduk di parlemen belum
maksimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas demokrasi di negeri
ini padahal perempuan jelas mendapat jaminan hak untuk duduk di parlemen. Kesenjangan
antara jumlah aleg perempuan yang tercantum dalam kebijakan dengan kenyataan bukan
semata-mata disebabkan oleh kurangnya caleg perempuan yang direkrut oleh partai
politik. Nyatanya, saat ini ada 2434 caleg perempuan yang bertanding untuk
Pileg 2014. Tidak bisa dipungkiri bahwa stigma tentang perempuan adalah makhluk
yang lemah masih melekat di kepala masyarakat. Budaya patriarki yang sejak dulu
berkembang di Indonesia pun juga mempengaruhi. Adalah tanggung jawab kita
bersama untuk mengubah pandangan tentang kaum perempuan mengingat dewasa ini
kekuatan perempuan dalam berpolitik layak diperhitungkan.
Pada
Pileg 2014 ini, jumlah aleg perempuan yang duduk di parlemen patut mencapai jumlah
yang proporsional karena sejatinya perempuan memiliki peran strategis dalam
mewakili rakyat terutama kaumnya di parlemen, selain juga karena kuotanya telah
diatur dalam kebijakan. Tentunya kuantitas juga harus dibarengi dengan kualitas
sehingga para aleg perempuan turut andil dalam memajukan bangsa lewat kapasitas
dan kapabilitas yang dimilikinya. Peran nyata perempuan dalam mewakili kaumnya
di parlemen setidaknya telah dibuktikan dengan kebijakan pro perempuan yang
dihasilkan selama periode 2009-2014, antara lain Undang-Undang tentang Perkawinan
dan UU mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semakin banyak jumlah aleg
perempuan yang berkompeten duduk di parlemen maka semakin terbuka peluang mereka
untuk menjalankan perannya secara optimal, baik dalam menyelesaikan masalah yang
mendiskreditkan perempuan maupun masalah bangsa lainnya.
Masalah Bangsa
dan Peran Anggota Legislatif perempuan
Indonesia
masih memiliki daftar panjang untuk permasalahan bangsa, termasuk permasalahan
perempuan dan anak. Hak-hak perempuan di negeri ini sudah sepantasnya terpenuhi
sebab perempuan mempunyai peran strategis dalam pembangunan bangsa. Perempuan
yang melahirkan, menjadi ibu sekaligus pendidik bagi generasi penerus. Betapa
besar peran kaum hawa dalam menentukan masa depan bangsa.
Salah
satu masalah dimana perempuan menjadi objek penderitaan yakni permasalahan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Permasalahan TKI yang mayoritas adalah perempuan
seakan tak kunjung menemukan solusi. Mata rantai permasalahan ini dimulai dari
banyaknya perempuan yang menjadi TKI karena desakan faktor ekonomi. Kurangnya
lapangan kerja di negeri sendiri menyebabkan para perempuan ini harus terpisah jauh
dari keluarga. Masalah semakin pelik dengan sering terjadinya kasus
pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap TKI perempuan. Ironisnya,
masih banyak TKI perempuan yang ilegal sehingga tidak bisa mendapat
perlindungan. Kasus TKI yang sedang menjadi perbincangan ialah kasus Satinah, seorang
TKI yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan dan
pencurian. Satinah menjalani proses pengadilan sejak tahun 2007 dan pada tahun
2014 akhirnya Satinah bebas setelah syarat pembayaran ganti rugi terpenuhi.
Tentunya, suara hati dan aspirasi para TKI akan lebih mudah dipahami oleh sesama
perempuan.
Bahkan
di negeri sendiri pun masih banyak terjadi kasus human trafficking dan kebanyakan korbannya ialah perempuan di bawah
umur. Para korban human trafficking
ini sering dipekerjakan sebagai wanita tuna susila. Adapula yang dieksploitasi menjadi
buruh pabrik maupun pekerja rumah tangga. Masih lekat di ingatan kita kasus
pekerja perempuan yang disekap selama 3 tahun di sebuah pabrik sarang burung
walet di Medan. Beberapa dari mereka bahkan masih di bawah umur dan harus
bekerja tanpa mengenal waktu juga tanpa mendapat pemenuhan hak. Kasus lain
yakni penyiksaan terhadap sejumlah perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga di
daerah Bogor. Human Trafficking dengan
korban anak-anak pun marak terjadi. Balita dan anak-anak di bawah umur diperjualbelikan
untuk dieksploitasi sebagai pengemis atau pengamen jalanan. Dalam hal ini
lagi-lagi perempuan yang mayoritas menjadi korban.
Salah
satu kodrat perempuan ialah melahirkan maka kualitas generasi penerus bangsa
ditentukan oleh perempuan. Sewajarnya hak-hak kesehatan perempuan terpenuhi
namun angka kematian Ibu di Indonesia cenderung semakin tinggi. Banyak
perempuan yang belum mengerti tentang kesehatan reproduksi. Berdasarkan SDKI
2012, rata-rata angka kematian ibu (AKI) tercatat mencapai 359 per 100 ribu
kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007
yang mencapai 228 per 100 ribu. Masalah ini tentu harus segera ditangani dan
tentunya aleg perempuan akan lebih mengerti dibandingkan dengan aleg laki-laki.
Indonesia
saat ini menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penduduk. Sayangnya
kuantitas belum berbanding lurus dengan kualitas. Masih banyak keluarga di Indonesia
yang menerapkan "banyak anak banyak rejeki" hingga banyak anak yang
justru kurang pendidikan bahkan terlantar. Disini, perempuan memiliki andil
yang sangat penting untuk mengerem laju angka kelahiran. Program Keluarga
Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah sejak lama ternyata belum menyentuh
seluruh golongan. Pentingnya pendekatan dan edukasi bagi para perempuan untuk
merencanakan jumlah anak dan akan lebih efektif bila dilakukan oleh sesama perempuan.
Bila
menyimak berita tindakan kriminal sejak awal tahun ini, fakta menunjukkan bahwa
data kejahatan terhadap perempuan cukup tinggi. Seperti yang diberitakan
Redaksi Trans 7 bahwa setidaknya pada bulan Januari-Maret 2014 ada 17 kasus
pembunuhan terhadap wanita di sekitar Jakarta. Belum lagi kasus pemerkosaan dan
pelecehan seksual terhadap perempuan yang seakan tiada henti dan mengancam
perempuan dimanapun. Misalnya kasus pelecehan seksual yang dialami seorang
perempuan penumpang Bus TransJakarta. Sangat miris ketika mengetahui pelakunya
ialah justru pegawai TransJakarta sendiri dan pelecehan tersebut dilakukan ketika
korban tersebut pingsan dan sedang membutuhkan pertolongan. Kasus kekerasan
terhadap anak pun tengah menjadi sorotan masyarakat ketika Iqbal, seorang
balita di Jakarta yang harus menderita luka berat di sekujur badannya karena
dianiaya oleh teman Ibunya. Eksploitasi sebagai pengemis serta penganiayaan
berat yang diterima Iqbal mengharuskan Iqbal dirawat secara intensif di rumah
sakit, di samping juga menderita trauma. Kekerasan dan pelecehan seksual
terhadap perempuan dan anak sudah pasti menjadi perhatian penting para aleg
perempuan, Dengan kuantitas keterwakilan perempuan yang meningkat di parlemen diharapkan
perlindungan untuk perempuan dapat dirasakan secara nyata.
Kekerasan terhadap perempuan pun kerap terjadi dalam
rumah tangga. Budaya patriarki seolah masih melegalkan perempuan untuk pasrah menerima kekerasan. Kekerasan yang
dimaksud disini termasuk juga kekerasan verbal. Padahal, Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) telah diatur dalam UU KDRT namun masih banyak korban perempuan yang
takut untuk melapor. Dalam masalah ini, diperlukan sinergi antara aleg
perempuan, pemerintah serta masyarakat sendiri untuk melakukan sosialisasi serta
memberikan edukasi.
Perempuan
sebagai Ibu juga erat kaitannya dengan perilaku remaja. Perilaku remaja
sekarang ini banyak yang menjurus ke arah negatif dan cenderung melakukan
kenakalan remaja. Masyarakat sempat dibuat kaget dengan pembunuhan Ade Sara, seorang
remaja perempuan yang dilakukan oleh kedua orang temannya yang juga masih
remaja. Bagaimana mungkin seorang remaja sudah terpikir untuk membunuh? Nyatanya
terjadi lagi kasus penganiayaan terhadap seorang remaja perempuan di Jakarta yang
kemudian dibunuh oleh teman-temannya dengan menggunakan gir motor. Tentu kita
tidak mau generasi penerus bangsa yang brutal, maka diperlukan peran nyata aleg
perempuan dalam mengatasi degradasi
moral bangsa.
Dalam
hal kesetaraan dan keadilan gender belum mampu diwujudkan sepenuhnya. Kaum
perempuan di negeri ini masih dihantui oleh diskriminasi, baik dalam hal
pendidikan, pekerjaan termasuk juga politik. Payung hukum tentang gender yakni Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender belum kunjung rampung. Pencapaian Kesetaraan dan keadilan gender yang
belum maksimal juga dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) di
Indonesia yang selalu lebih rendah dari Indeks Pembangunan Manusia dari tahun
2004-2012. Idealnya, perempuan dan laki-laki setara dalam hal akses,
partisipasi, kontrol dalam pembangunan. Harapan tentang kesetaran dan keadilan
gender di Indonesia berada di tangan para aleg perempuan.
Sederet
masalah perempuan dan anak menjadi tugas bagi para anggota legislatif baik
laki-laki maupun perempuan. Namun, aleg perempuan tentu akan lebih memahami
permasalahan yang dihadapi oleh kaumnya dan jika ditambah dengan memaksimalkan
ketiga fungsi yang dimiliki maka setiap permasalahan akan menemukan titik
terang. Sebagai legislator, aleg perempuan tentu mengedepankan kebijakan yang
pro perempuan dan anak. Dalam memformulasi kebijakan, aleg perempuan tentu akan
berdasarkan pemahaman mendalam tentang realita di lapangan, serta pertimbangan kesamaan
perasaan sementara aleg laki-laki pada umumnya memahami permasalahan hanya pada
level permukaan. Dengan makin banyaknya jumlah aleg perempuan di parlemen maka
akan semakin kuat bargaining position
dalam mengadvokasi kebijakan yang berperspektif gender maupun kebijakan
sinergis lainnya. Hingga kini Undang-Undang tentang kesetaraan dan keadilan gender
belum juga rampung padahal proses penyusunannya telah dimulai sejak parlemen
periode lalu. Maka jika ada peningkatan jumlah aleg perempuan diharapkan dapat
mempercepat penyelesaiannya mengingat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
adalah salah satu tujuan dari MDGs
Melalui
fungsi anggaran, aleg perempuan tentu akan memperjuangkan anggaran yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan kaum hawa. Penyusunan anggaran oleh aleg
perempuan tidak hanya berdasarkan logika semata namun juga dengan rasa. Anggaran
merupakan faktor penting untuk mendorong kesejahteraan. Ketika kesejahteraan
dan hak-hak perempuan terjamin maka kualitas generasi yang dilahirkan juga akan
terjamin. Jumlah aleg perempuan yang signifikan akan menerbitkan kekuatan dalam
memperjuangkan hak kaum perempuan lewat anggaran. Kekuatan perempuan dalam
parlemen juga akan memberdayakan lebih banyak lagi perempuan Indonesia sebab perempuan
lah yang lebih mengerti cara paling tepat untuk memberdayakan kaumnya.
Fungsi
ketiga yang dimiliki oleh aleg ialah fungsi kontrol. Aleg adalah perpanjangan
tangan rakyat yang harus berpihak pada rakyat terutama jika terjadi
penyelewengan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam melaksanakan pengawasan,
perempuan lebih memiliki sensitivitas serta ketelitian. Pengawasan memang tidak
bisa hanya mengandalkan kepekaan hati
tapi juga ketegasan dan konsistensi. Di samping membuat undang-undang, aleg
juga harus mengawasi implementasi undang-undang tersebut. Aleg dapat melakukan
revisi terhadap undang-undang jika dibutuhkan. Contohnya yaitu UU No 39 tahun
2004 tentang penempatan TKI yang sedang dalam proses amandemen untuk
menyempurnakan aturan tentang perlindungan TKI. Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya bahwa mayoritas TKI yang menghadapi masalah ialah TKI perempuan maka
jelas jika semakin banyak aleg perempuan yang duduk di parlemen, semakin banyak
pula aspirasi dan suara hati TKI yang terakomodir
Ketiga
fungsi yang dimiliki oleh para aleg perempuan wajib dimaksimalkan agar tidak
ada lagi ketertinggalan bagi kaum perempuan. Sudah saatnya perempuan bukan
hanya memiliki keterwakilan di parlemen namun juga kekuatan. Kekuatan yang
maksimal dan terarah akan mendatangkan solusi bagi berbagai masalah bangsa yang
akan sangat bermanfaat bagi rakyat. Jumlah aleg perempuan yang signifikan dan
bekerja optimal selama lima tahun dapat mempengaruhi masa depan bangsa ini.
Memilih secara
Rasional
Peningkatan jumlah caleg
perempuan bukan sebatas formalitas agar partai politik dapat mengikuti Pemilu,
juga bukan sebagai penghias untuk meningkatkan elektabilitas. Perempuan layak
untuk masuk ke ranah politik karena memiliki kapasitas dan integritas. Kuota
30% untuk caleg perempuan adalah hak yang telah dijamin dalam kebijakan dan
patut terpenuhi dengan caleg perempuan yang berkualitas. Kuantitas dan kualitas
yang diharapkan tidak dapat terlepas dari dukungan berbagai pihak. Partai
Politik sebagai kendaraan para caleg berperan untuk melakukan kaderisasi secara
selektif juga mengedukasi untuk meningkatkan kompetensi. Kita sebagai rakyat yang
menjunjung tinggi demokrasi akan menjatuhkah pilihannya secara rasional.
Pelajari visi misi para caleg dan
partainya, pastikan sudah cukup mengakomodir kepentingan dan kebutuhan kaum
perempuan. Sebagai wakil rakyat, sudah seharusnya open-minded dan problem-solver
maka pilih caleg dengan program nyata yang menawarkan solusi pintar bukan
pintar berjanji. Adalah hal yang penting untuk memeriksa rekam jejak caleg agar
kepercayaan yang kita berikan tidak akan sia-sia. Pilih caleg yang bukan hanya
peduli tapi juga dapat berkomunikasi dengan baik dengan rakyat banyak, karena
sejatinya caleg adalah penyerap suara rakyat dan akan menyuarakannya demi
kemajuan bangsa dan negara. Kriteria ideal dapat dimiliki oleh caleg laki-laki
maupun perempuan, namun kekuatan perempuan dalam berpolitik layak
diperhitungkan. Perempuan memiliki peran strategis untuk pembangunan dan
kemajuan bangsa. Suara dan dukungan kita lah yang akan semakin memperkuat perempuan
dalam parlemen. Mari memilih secara rasional pada tanggal 9 April 2014.
Referensi:
1. Bincang Pagi Metro TV, Perempuan dan Parlemen:
Antara Budaya dan Realitas Politik tayang Sabtu, 5 April 2014.
2. Jumlah Penduduk Perbandingan Laki-laki & Perempuan
di masing-masing Negara, http://statistik.ptkpt.net
diakses 5 April 2014.
3. Data
SDKI 2012, angka kematian ibu melonjak, http://nasional.sindonews.com,
diakses 6 April 2014.
4. Pembangunan Manusia berbasis Gender 2013:
Pencapaian Pembangunan Gender, www.menegpp.go.id,
diakses 7 April 2014.
No comments:
Post a Comment