2014/04/07

Kekuatan Perempuan dalam Parlemen

Dalam hitungan hari, masyarakat Indonesia akan berpesta demokrasi. Pesta demokrasi yang diharapkan bukan hanya sekedar repetisi lima tahunan tapi membawa perubahan signifikan. Rangkaian perhelatan politik ini diawali dengan Pemilihan Legislatif pada tanggal 9 April 2014.


Langkah perubahan bagi bangsa Indonesia ditentukan oleh suara rakyat dalam memilih para wakilnya di parlemen. Meminjam istillah Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) maka idealnya para caleg terpilih akan membawa Indonesia selangkah ke depan, Akan tetapi, jika hak suara rakyat diberikan bukan berdasarkan pilihan rasional maka bisa jadi Indonesia tetap terjebak dalam ketertinggalan. Untuk itu, sepatutnya setiap dari kita memiilih wakil rakyat yang mumpuni untuk mewakili.


Jumlah kursi yang tersedia di DPR RI yakni sebanyak  563 kursi. Jumlah tersebut untuk mewakili jumlah rakyat Indonesia saat ini yang sudah mencapai 237.641.326 jiwa dengan komposisi jumlah laki-laki 119.630.913 jiwa dan perempuan jumlah 118.010.413 jiwa. Sementara jumlah Calon Legislatif (caleg) yang berjuang untuk pemilihan legislatif (pileg) periode 2014-2019 ini sejumlah 4142 caleg laki-laki dan 2434 caleg perempuan.

Tingginya jumlah perempuan di Indonesia belum berbanding lurus dengan jumlah caleg perempuan yang mewakilinya di parlemen. Ini ditunjukkan dengan data jumlah anggota legislatif (aleg) perempuan di DPR RI periode 1999-2004 yakni sebanyak 9,2% ; Periode 2004-2009 yakni sebanyak 11,8 % ; Periode 2009-2014 yakni sebanyak 19,2%. Padahal seharusnya jumlah aleg perempuan yang duduk di parlemen mencapai angka 30% sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang. Terdapat beberapa kebijakan yang mengatur tentang keterwakilan serta partisipasi perempuan dalam parlemen, yaitu: UU No.32 tahun 2007, UU No. 10 tahun 2008, UU No.2 tahun 2011, UU No.15 tahun 2011 dan yang terbaru yaitu PKPU No.7 tahun 2013.

Fakta menunjukkan bahwa kuantitas aleg perempuan yang duduk di parlemen belum maksimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas demokrasi di negeri ini padahal perempuan jelas mendapat jaminan hak untuk duduk di parlemen. Kesenjangan antara jumlah aleg perempuan yang tercantum dalam kebijakan dengan kenyataan bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya caleg perempuan yang direkrut oleh partai politik. Nyatanya, saat ini ada 2434 caleg perempuan yang bertanding untuk Pileg 2014. Tidak bisa dipungkiri bahwa stigma tentang perempuan adalah makhluk yang lemah masih melekat di kepala masyarakat. Budaya patriarki yang sejak dulu berkembang di Indonesia pun juga mempengaruhi. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengubah pandangan tentang kaum perempuan mengingat dewasa ini kekuatan perempuan dalam berpolitik layak diperhitungkan. 

Pada Pileg 2014 ini, jumlah aleg perempuan yang duduk di parlemen patut mencapai jumlah yang proporsional karena sejatinya perempuan memiliki peran strategis dalam mewakili rakyat terutama kaumnya di parlemen, selain juga karena kuotanya telah diatur dalam kebijakan. Tentunya kuantitas juga harus dibarengi dengan kualitas sehingga para aleg perempuan turut andil dalam memajukan bangsa lewat kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya. Peran nyata perempuan dalam mewakili kaumnya di parlemen setidaknya telah dibuktikan dengan kebijakan pro perempuan yang dihasilkan selama periode 2009-2014,  antara lain Undang-Undang tentang Perkawinan dan UU mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semakin banyak jumlah aleg perempuan yang berkompeten duduk di parlemen maka semakin terbuka peluang mereka untuk menjalankan perannya secara optimal, baik dalam menyelesaikan masalah yang mendiskreditkan perempuan maupun masalah bangsa lainnya.

Masalah Bangsa dan Peran Anggota Legislatif perempuan
Indonesia masih memiliki daftar panjang untuk permasalahan bangsa, termasuk permasalahan perempuan dan anak. Hak-hak perempuan di negeri ini sudah sepantasnya terpenuhi sebab perempuan mempunyai peran strategis dalam pembangunan bangsa. Perempuan yang melahirkan, menjadi ibu sekaligus pendidik bagi generasi penerus. Betapa besar peran kaum hawa dalam menentukan masa depan bangsa.

Salah satu masalah dimana perempuan menjadi objek penderitaan yakni permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Permasalahan TKI yang mayoritas adalah perempuan seakan tak kunjung menemukan solusi. Mata rantai permasalahan ini dimulai dari banyaknya perempuan yang menjadi TKI karena desakan faktor ekonomi. Kurangnya lapangan kerja di negeri sendiri menyebabkan para perempuan ini harus terpisah jauh dari keluarga. Masalah semakin pelik dengan sering terjadinya kasus pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap TKI perempuan. Ironisnya, masih banyak TKI perempuan yang ilegal sehingga tidak bisa mendapat perlindungan. Kasus TKI yang sedang menjadi perbincangan ialah kasus Satinah, seorang TKI yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan dan pencurian. Satinah menjalani proses pengadilan sejak tahun 2007 dan pada tahun 2014 akhirnya Satinah bebas setelah syarat pembayaran ganti rugi terpenuhi. Tentunya, suara hati dan aspirasi para TKI akan lebih mudah dipahami oleh sesama perempuan.

Bahkan di negeri sendiri pun masih banyak terjadi kasus human trafficking dan kebanyakan korbannya ialah perempuan di bawah umur. Para korban human trafficking ini sering dipekerjakan sebagai wanita tuna susila. Adapula yang dieksploitasi menjadi buruh pabrik maupun pekerja rumah tangga. Masih lekat di ingatan kita kasus pekerja perempuan yang disekap selama 3 tahun di sebuah pabrik sarang burung walet di Medan. Beberapa dari mereka bahkan masih di bawah umur dan harus bekerja tanpa mengenal waktu juga tanpa mendapat pemenuhan hak. Kasus lain yakni penyiksaan terhadap sejumlah perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga di daerah Bogor. Human Trafficking dengan korban anak-anak pun marak terjadi. Balita dan anak-anak di bawah umur diperjualbelikan untuk dieksploitasi sebagai pengemis atau pengamen jalanan. Dalam hal ini lagi-lagi perempuan yang mayoritas menjadi korban. 

Salah satu kodrat perempuan ialah melahirkan maka kualitas generasi penerus bangsa ditentukan oleh perempuan. Sewajarnya hak-hak kesehatan perempuan terpenuhi namun angka kematian Ibu di Indonesia cenderung semakin tinggi. Banyak perempuan yang belum mengerti tentang kesehatan reproduksi. Berdasarkan SDKI 2012, rata-rata angka kematian ibu (AKI) tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Masalah ini tentu harus segera ditangani dan tentunya aleg perempuan akan lebih mengerti dibandingkan dengan aleg laki-laki.

Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penduduk. Sayangnya kuantitas belum berbanding lurus dengan kualitas. Masih banyak keluarga di Indonesia yang menerapkan "banyak anak banyak rejeki" hingga banyak anak yang justru kurang pendidikan bahkan terlantar. Disini, perempuan memiliki andil yang sangat penting untuk mengerem laju angka kelahiran. Program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah sejak lama ternyata belum menyentuh seluruh golongan. Pentingnya pendekatan dan edukasi bagi para perempuan untuk merencanakan jumlah anak dan akan lebih efektif bila dilakukan oleh sesama perempuan.
            
Bila menyimak berita tindakan kriminal sejak awal tahun ini, fakta menunjukkan bahwa data kejahatan terhadap perempuan cukup tinggi. Seperti yang diberitakan Redaksi Trans 7 bahwa setidaknya pada bulan Januari-Maret 2014 ada 17 kasus pembunuhan terhadap wanita di sekitar Jakarta. Belum lagi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang seakan tiada henti dan mengancam perempuan dimanapun. Misalnya kasus pelecehan seksual yang dialami seorang perempuan penumpang Bus TransJakarta. Sangat miris ketika mengetahui pelakunya ialah justru pegawai TransJakarta sendiri dan pelecehan tersebut dilakukan ketika korban tersebut pingsan dan sedang membutuhkan pertolongan. Kasus kekerasan terhadap anak pun tengah menjadi sorotan masyarakat ketika Iqbal, seorang balita di Jakarta yang harus menderita luka berat di sekujur badannya karena dianiaya oleh teman Ibunya. Eksploitasi sebagai pengemis serta penganiayaan berat yang diterima Iqbal mengharuskan Iqbal dirawat secara intensif di rumah sakit, di samping juga menderita trauma. Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak sudah pasti menjadi perhatian penting para aleg perempuan, Dengan kuantitas keterwakilan perempuan yang meningkat di parlemen diharapkan perlindungan untuk perempuan dapat dirasakan secara nyata.


Kekerasan terhadap perempuan pun kerap terjadi dalam rumah tangga. Budaya patriarki seolah masih melegalkan perempuan untuk  pasrah menerima kekerasan. Kekerasan yang dimaksud disini termasuk juga kekerasan verbal. Padahal, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah diatur dalam UU KDRT namun masih banyak korban perempuan yang takut untuk melapor. Dalam masalah ini, diperlukan sinergi antara aleg perempuan, pemerintah serta masyarakat sendiri untuk melakukan sosialisasi serta memberikan edukasi.

Perempuan sebagai Ibu juga erat kaitannya dengan perilaku remaja. Perilaku remaja sekarang ini banyak yang menjurus ke arah negatif dan cenderung melakukan kenakalan remaja. Masyarakat sempat dibuat kaget dengan pembunuhan Ade Sara, seorang remaja perempuan yang dilakukan oleh kedua orang temannya yang juga masih remaja. Bagaimana mungkin seorang remaja sudah terpikir untuk membunuh? Nyatanya terjadi lagi kasus penganiayaan terhadap seorang remaja perempuan di Jakarta yang kemudian dibunuh oleh teman-temannya dengan menggunakan gir motor. Tentu kita tidak mau generasi penerus bangsa yang brutal, maka diperlukan peran nyata aleg perempuan dalam mengatasi  degradasi moral bangsa. 

Dalam hal kesetaraan dan keadilan gender belum mampu diwujudkan sepenuhnya. Kaum perempuan di negeri ini masih dihantui oleh diskriminasi, baik dalam hal pendidikan, pekerjaan termasuk juga politik. Payung hukum tentang gender yakni Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender belum kunjung rampung.  Pencapaian Kesetaraan dan keadilan gender yang belum maksimal juga dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia yang selalu lebih rendah dari Indeks Pembangunan Manusia dari tahun 2004-2012. Idealnya, perempuan dan laki-laki setara dalam hal akses, partisipasi, kontrol dalam pembangunan. Harapan tentang kesetaran dan keadilan gender di Indonesia berada di tangan para aleg perempuan.

Sederet masalah perempuan dan anak menjadi tugas bagi para anggota legislatif baik laki-laki maupun perempuan. Namun, aleg perempuan tentu akan lebih memahami permasalahan yang dihadapi oleh kaumnya dan jika ditambah dengan memaksimalkan ketiga fungsi yang dimiliki maka setiap permasalahan akan menemukan titik terang. Sebagai legislator, aleg perempuan tentu mengedepankan kebijakan yang pro perempuan dan anak. Dalam memformulasi kebijakan, aleg perempuan tentu akan berdasarkan pemahaman mendalam tentang realita di lapangan, serta pertimbangan kesamaan perasaan sementara aleg laki-laki pada umumnya memahami permasalahan hanya pada level permukaan. Dengan makin banyaknya jumlah aleg perempuan di parlemen maka akan semakin kuat bargaining position dalam mengadvokasi kebijakan yang berperspektif gender maupun kebijakan sinergis lainnya. Hingga kini Undang-Undang tentang kesetaraan dan keadilan gender belum juga rampung padahal proses penyusunannya telah dimulai sejak parlemen periode lalu. Maka jika ada peningkatan jumlah aleg perempuan diharapkan dapat mempercepat penyelesaiannya mengingat  kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah salah satu tujuan dari MDGs

Melalui fungsi anggaran, aleg perempuan tentu akan memperjuangkan anggaran yang berpengaruh terhadap kesejahteraan kaum hawa. Penyusunan anggaran oleh aleg perempuan tidak hanya berdasarkan logika semata namun juga dengan rasa. Anggaran merupakan faktor penting untuk mendorong kesejahteraan. Ketika kesejahteraan dan hak-hak perempuan terjamin maka kualitas generasi yang dilahirkan juga akan terjamin. Jumlah aleg perempuan yang signifikan akan menerbitkan kekuatan dalam memperjuangkan hak kaum perempuan lewat anggaran. Kekuatan perempuan dalam parlemen juga akan memberdayakan lebih banyak lagi perempuan Indonesia sebab perempuan lah yang lebih mengerti cara paling tepat untuk memberdayakan kaumnya.

Fungsi ketiga yang dimiliki oleh aleg ialah fungsi kontrol. Aleg adalah perpanjangan tangan rakyat yang harus berpihak pada rakyat terutama jika terjadi penyelewengan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam melaksanakan pengawasan, perempuan lebih memiliki sensitivitas serta ketelitian. Pengawasan memang tidak bisa  hanya mengandalkan kepekaan hati tapi juga ketegasan dan konsistensi. Di samping membuat undang-undang, aleg juga harus mengawasi implementasi undang-undang tersebut. Aleg dapat melakukan revisi terhadap undang-undang jika dibutuhkan. Contohnya yaitu UU No 39 tahun 2004 tentang penempatan TKI yang sedang dalam proses amandemen untuk menyempurnakan aturan tentang perlindungan TKI. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa mayoritas TKI yang menghadapi masalah ialah TKI perempuan maka jelas jika semakin banyak aleg perempuan yang duduk di parlemen, semakin banyak pula aspirasi dan suara hati TKI yang terakomodir

Ketiga fungsi yang dimiliki oleh para aleg perempuan wajib dimaksimalkan agar tidak ada lagi ketertinggalan bagi kaum perempuan. Sudah saatnya perempuan bukan hanya memiliki keterwakilan di parlemen namun juga kekuatan. Kekuatan yang maksimal dan terarah akan mendatangkan solusi bagi berbagai masalah bangsa yang akan sangat bermanfaat bagi rakyat. Jumlah aleg perempuan yang signifikan dan bekerja optimal selama lima tahun dapat mempengaruhi masa depan bangsa ini.

Memilih secara Rasional
Peningkatan jumlah caleg perempuan bukan sebatas formalitas agar partai politik dapat mengikuti Pemilu, juga bukan sebagai penghias untuk meningkatkan elektabilitas. Perempuan layak untuk masuk ke ranah politik karena memiliki kapasitas dan integritas. Kuota 30% untuk caleg perempuan adalah hak yang telah dijamin dalam kebijakan dan patut terpenuhi dengan caleg perempuan yang berkualitas. Kuantitas dan kualitas yang diharapkan tidak dapat terlepas dari dukungan berbagai pihak. Partai Politik sebagai kendaraan para caleg berperan untuk melakukan kaderisasi secara selektif juga mengedukasi untuk meningkatkan kompetensi. Kita sebagai rakyat yang menjunjung tinggi demokrasi akan menjatuhkah pilihannya secara rasional.           
  
Pelajari visi misi para caleg dan partainya, pastikan sudah cukup mengakomodir kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan. Sebagai wakil rakyat, sudah seharusnya open-minded dan problem-solver maka pilih caleg dengan program nyata yang menawarkan solusi pintar bukan pintar berjanji. Adalah hal yang penting untuk memeriksa rekam jejak caleg agar kepercayaan yang kita berikan tidak akan sia-sia. Pilih caleg yang bukan hanya peduli tapi juga dapat berkomunikasi dengan baik dengan rakyat banyak, karena sejatinya caleg adalah penyerap suara rakyat dan akan menyuarakannya demi kemajuan bangsa dan negara. Kriteria ideal dapat dimiliki oleh caleg laki-laki maupun perempuan, namun kekuatan perempuan dalam berpolitik layak diperhitungkan. Perempuan memiliki peran strategis untuk pembangunan dan kemajuan bangsa. Suara dan dukungan kita lah yang akan semakin memperkuat perempuan dalam parlemen. Mari memilih secara rasional pada tanggal 9 April 2014. 

Referensi:
1. Bincang Pagi Metro TV, Perempuan dan Parlemen: Antara Budaya dan Realitas Politik tayang Sabtu, 5 April 2014.
2. Jumlah Penduduk Perbandingan Laki-laki & Perempuan di masing-masing Negara,  http://statistik.ptkpt.net diakses 5 April 2014.
3. Data SDKI 2012, angka kematian ibu melonjak, http://nasional.sindonews.com, diakses 6 April 2014.
4. Pembangunan Manusia berbasis Gender 2013: Pencapaian Pembangunan Gender, www.menegpp.go.id, diakses 7 April 2014.
 

TULISAN INI DIIKUTSERTAKAN DALAM LOMBA BLOG TENTANG CALEG PEREMPUAN

No comments: